Bismillahirrahmanirrahim.
Tahun Baru Hijriyah dan Momentum Perubahan
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin, Sayyidina Umar bin Khattab ra. Bermula dari sebuah surat yang dikirimkan oleh Amirul Mukminin kepada seorang gubernur bernama Abu Musa Al-Asy’ari, ketika suratnya sampai terdapat kebingungan karena tidak ada penanggalan apakah perintah surat tersebut sudah lama dan tidak berlaku lagi ataukah perintah baru dan wajib dilaksanakan mengingat teknologi yang bisa digunakan untuk mengiriman surat pada saat itu memakan waktu yang cukup lama mencapai angka bulanan, tidak seperti sekarang.
Dari keresahan inilah Amirul Mukminin mengumpulkan para sahabat mengadakan rapat untuk membahas penanggalan yang akan menjadi acuan dan digunakan oleh umat Islam. Ada beberapa usulan untuk menentukan tahun 1 dari kalender yang akan digunakan. Mulai dari usulan menggunakan momentum kelahiran Nabi Muhammad saw sebagai penetapan awal tahun sebagaimana orang-orang Masehi yang menggunakan kelahiran Al-Masih sebagai awal penetapan tahun namun usulan ini ditolak karena dikhawatirkan kemudian Nabi Muhammad saw dikultuskan oleh sementara orang sebagaimana Nabi Isa as dikultuskan bahkan diangkat oleh sementara orang diduga sebagai tuhan. Usulan yang lain yaitu mengambil peristiwa wafatnya Rasulullah saw sebagai awal penetapan tahun namun usulan ini juga mendapat penolakan dikarena dikhawatirkan dalam menyambut tahun yang baru akan banyak bersedih, tidak lahir kebahagian namun hadir kesedihan. (Penjelasan Ustadz Adi Hidayat).
Beberapa usulan lain turut dituangkan hingga salah seorang sahabat mengusulkan dengan mengambil momentum hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah al-Mukarromah menuju Yastrib (yang setelah hijrah berubah nama menjadi Madinah al-Munawwaroh) sebagai awal penetapan tahun dengan pertimbangan bahwa hijrah tersebut adalah masa perubahan pada titik-titik perjuangan dalam Islam yang melahirkan nilai kesempurnaan, didapatkan kenyamanan dalam ibadah, perubahan karakteristik dan persatuan umat Islam. (Hikmah yang dijelaskan Ustadz Adi Hidayat). Usulan ini pun akhirnya disetujui.
Hijrah merupakan momentum yang penting, pembeda/pemisah antara yang haq dan bathil juga sebagai titik balik bagi umat Islam karena melihat sudah tidak ada lagi harapan di Mekkah untuk perkembangan Islam. Berawal dari wafatnya sang pelindung Rasulullah saw dari segala ancaman musuh yaitu Abu Thalib pamannya sekaligus pemimpin Bani Hasyim. Disusul pula wafatnya sang istri yang menjadi support system yaitu Sayyidah Khadijah. Berdakwah ke Thaif dengan tujuan mencari area lain sebagai objek dakwah namun sayang dakwah disanapun ditolak, Rasulullah saw dilempari hingga berdarah. Kembali ke Mekkah namun rasanya sudah suram sekali untuk masa depan dakwah. Kalau dulu Rasulullah saw berdakwah masih mendapatkan perlindungan namun kini siapa lagi. Pamannya Abu Lahab yang memusuhinya telah menjadi pemimpin dari Bani Hasyim menggantikan Abu Thalib yang sudah wafat. Hal ini tentunya memberikan peluang yang besar bagi kafir Quraisy untuk menyakiti Rasulullah saw dan pengikutnya. Kehidupan di Mekkah sudah tidak kondusif lagi dan beberapa tahun kemudian Allah pun memerintahkan Rasulullah saw untuk berhijrah dengan menyusun strategi sebelumnya.
Hijrah memberikan pesan tersirat bahwa hijrah adalah momentum untuk berpindah dari suatu kondisi ke kondisi yang lain, momentum untuk bisa mewujudkan perubahan baru yang lebih baik. Bukan hijrah tempat namun hijrah qalbu, hijrah amal, hijrah sikap dan hijrah akhlak dari yang buruk menjadi baik. Ini menjadi muhasabah dan juga target.
Mengutipkan kata-kata dari buku “Tutur Hati” karya Ustadzah Halimah Alaydrus.
Hijrah adalah kepindahan, dari jalan maksiat menuju pintu taubat.
Dari ego diri menuju ketulusan, dari kebencian menuju cinta kasih.
Larilah dari murka-Nya, menuju ridho-Nya.
Tahun baru tiba, hari baru datang pertanda semakin dekatnya kita untuk pulang.
Comments
Post a Comment