Manusia dan Berusaha
- SHORT STORY -
Ana, nama panjangnya Mauizatul Hasanah merupakan mahasiswa teknik arsitektur semester tiga. Pukul 12.20 siang ia sangat buru-buru karena harus mengumpulkan tugasnya tepat waktu kepada sang dosen. Tugas yang diberikan waktu tujuh hari untuk menyelesaikannya dan dikumpulkan kemudian pukul 13.00 pada hari H nya.
Tujuh hari penuh perjuangan berlalu, hari pengumpulan tiba dan tugas gambar sudah selesai dibuat. Tapi entah kenapa hari yang seharusnya menjadi hari yang lega karena ia mampu menyelesaikannya melalui dua kali asistensi dan revisi harus menjadi hari yang suram. Ada insiden saat Ana tengah bersantai menikmati waktu paginya yang luang. Jadwal hari itu hanya mengumpulkan tugas maka ia memutuskan bersantai dengan ditemani sebuah novel dan teh panas di kamarnya.
Ana duduk di meja belajar menyelami kata demi kata mengonstruksi cerita novel dalam imajinasinya. Gelas berisi setengah teh yang diletakkan di atas meja seketika tumpah ketika tangan Ana tak sengaja menyenggolnya. Teh mengalir keluar dari gelas. Matanya terbelalak mendapati teh yang tumpah mengenai lembar gambar terakhir yang dibuatnya. Sebuah kecerobohan memang ketika Ana tak langsung menyingkirkan lembar tugasnya ke tempat yang lebih aman.
Spontan Ana mengangkat lembar gambar tersebut berharap bisa menyelamatkannya. Namun gagal, teh telah berhasil membasahi setengah permukaan. Tidak mungkin baginya untuk mengumpul lembar tugas itu. Shock tentu, satu dari tiga lembar gambar yang penuh perjuangan, menyita waktu, menuntut fokus dan bahagia saat membuatnya kini tak berguna sudah.
Mata Ana langsung melirik jam weker di sudut meja, menunjukkan pukul 08.30. Ana meyakinkan diri masih bisa untuk membuat ulang. Ana sigap membersihkan meja mengumpulkan alat yang diperlukan kemudian menggambar.
Waktu memang bergerak lebih cepat bagi mereka yang bekerja dituntut harus selesai dalam waktu tertentu. Pukul 11.30 tugas sudah selesai Ana buat. Lembar terakhir ini memiliki tingkat kesulitan yang lebih daripada yang lain. Walau tak sebaik yang pertama, tidak apa-apa.
Ana segera melakukan bersih-bersih, mengenakan pakaian, ibadah, menyiapkan segala keperluan ke dalam tas, serta memakaikan jam di tangannya. Ana sangat jarang memakai jam dipakai hari itu sekedar untuk pengingat agar tidak terlambat, ia sangat fokus dengan jamnya. Kemudian Ana makan. Tangannya mengantarkan sendok ke mulut sedang matanya bergonta-ganti memandangi makanan dan jarum jam yang tak henti bergerak itu. Makan siang kali ini sungguh tidak nikmat, walau lauk pauknya sungguh nikmat karena apa? karena buru-buru!
Ana berpamitan, menghidupkan kemudian mengendarai sepeda motor miliknya. Pukul 12.20 Ana keluar dari rumah meleset dari rencana awal yang seharusnya pukul 10.00 pagi; memilih waktu saat matahari belum panas-panasnya.
Dalam perjalanan hatinya diliputi kecemasan, pandangan bergonta-ganti mengarah ke arah jalanan dan ke jam yang ada di tangan. Dua puluh menit lebih perjalanan akhirnya Ana tiba di tujuannya, kampus. Memarkirkan sepeda motor, melirik jam di tangan masih tersisa sekitar tujuh belas menit. Ana kemudian jalan cepat menuju ruang dosen.
Ana menuju kursi panjang yang berada sejauh dua meter dari pintu masuk ruangan. Ana duduk menstabilkan nafas kemudian mengeluarkan kertas gambar yang akan dikumpulkan dari dalam tas. Ana juga mengeluarkan handphone yang berdenting pertanda ada pesan masuk. Namun betapa kagetnya Ana ketika ia memandangi layar handphone yang hidup hanya selama tiga detik itu.
Bukan karena pesan masuknya melainkan karena jam yang tertera di layar handphone tersebut, disana menunjukkan pukul 13.05. Ini artinya sudah melewati batas waktu pengumpulan.
Ana membandingkan jam di tangannya dengan jam di layar handphone. Jam di handphone tidak mungkin salah karena sudah diatur secara otomatis disediakan oleh jaringan. Ia tak mengira kesuramannya bertambah jadi dua. Kepanikannya sejak di rumah membuatnya tidak menyadari bahwa jam tangannya itu telah lemah, bergerak lebih lambat.
Ana merebahkan badannya ke sandaran kursi, rasanya ingin pasrah. Ia tak ingin terlihat konyol seperti anak kecil yang dimarahi orangtuanya akibat berbuat salah, namun tidak ada namanya dalam daftar mahasiswa yang mengumpulkan tugas adalah kenyataan yang jauh lebih salah.
Memakan waktu tiga menit untuk memikirkannya menambah panjang waktu keterlambatan. Waktu terus berjalan Ana kemudian memutuskan untuk menemui dosen yang terkenal disiplin, yang tidak menolerir keterlambatan untuk pengumpulan tugasnya. Dosen ini sangat terkenal sekali kegarangannya, sehingga mahasiswa berpikir dua kali untuk bermasalah dengannya. Ia meyakinkan diri untuk berusaha terlebih dahulu.
Ana masuk ruangan, menuju meja yang terdapat nama Rita di atasnya kemudian memberi salam. Sang dosen membalas dengan muka datar, menyilakan duduk dan menanyakan apa keperluannya. Ana kemudian duduk dan menjelaskan maksudnya juga menyampaikan alasannya. Tak lupa Ana melampirkan bukti berupa lembar gambar yang sudah rusak akibat terkena teh. Untung saja Ana membawanya, lembar yang dikira sudah tidak berguna namun ternyata sangat berguna sekarang. Ana berharap sang dosen berbaik hati menerima alasan serta menerima tugasnya.
Tak perlu waktu lama sang dosen akhirnya memaklumi dan masih mau menerima tugas tersebut. Ana tidak tahu hal bahagia apa yang sang dosen alami hari itu sehingga memuluskan tugasnya diterima atau mungkin karena alasannya yang memang masuk akal. Entahlah apapun itu, Ana begitu senang. Usahanya tidak sia-sia.
Ana keluar ruangan dengan wajah bahagia seraya bersyukur mengucap Alhamdulillah :)
- SELESAI -
---
Kisah fiktif ini dipersembahkan sebagai jawaban dari pertanyaan "Mengapa manusia harus berusaha jikalau semuanya sudah ditetapkan?"
Sesimpel "karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kita berusaha" bisa beda bisa tetap sama. Satu hal yang sudah pasti hasilnya adalah ketika memutuskan untuk berhenti dan jika tetap melangkah dan berusaha kemungkinan itu masih ada. Manusia merencanakan Allah menentukan.
Dipersembahkan juga dengan sebab betapa riuhnya suara ibu-ibu yang meneriaki ibu-ibu lain yang kebingungan pada saat mengantre beli minyak murah (pada saat krisis minyak dan harga melambung tinggi), kebingungan karena di stand tertera syarat agar bisa membeli minyak murah tersebut, namun syaratnya tak mencukupi. Walhasil pada saat bertatap muka kepada mba-mba penjual, syarat itu sudah tak berguna lagi, yang penting proses antrean berjalan dengan lancar. Kemungkinan itu masih ada!
Hal semacam ini banyak di temui dalam kasus yang berbeda. Sedari dulu Allah telah memberitahu bahwa wilayah manusia salah satunya yaitu berusaha.
Allah tidak langsung membelah lautan untuk Nabi Musa as padahal Allah bisa tapi Allah memerintahkan Nabi Musa as untuk memukulkan tongkatnya ke laut terlebih dahulu.
"Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, "Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam)."" (QS. Ta-Ha : 77)
Karena hidup manusia sangat identik dengan sebab akibat; merupakan sunnatullah. Makan kemudian kenyang, belajar kemudian tahu, olahraga kemudian sehat dan lain sebagainya.
Wallahu 'alam bisshawab.
Semoga bermanfaat :)
Hak cipta dilindungi, walau tak dilindungi hukum pasti di lindungi Allah hehe.
Comments
Post a Comment